MAKALAH KEBIJAKAN OBAT NASIONAL (KONAS)
MAKALAH
KEBIJAKAN OBAT NASIONAL (KONAS)
![]() |
OLEH
ZUL RAHMATUL HUDA
POLITEKNIK
”MEDICA FARMA HUSADA”
MATARA
Dalam upaya pelayanan
kesehatan, ketersediaan obat dalam jenis yang lengkap, jumlah yang cukup
terjamin khasiatnya, aman, efektif dan bermutu, dengan harga terjangkau serta
mudah diakses adalah sasaran yang harus dicapai
Kemajuan teknologi telah membawa
perubahan yang radikal dibidang farmasi dan alat kesehatan.
Globalisasi yang
ditandai dengan entry barrier perdagangan internasional yang semakin tipis
menyebabkan produk farmasi dana alat kesehatan secara cepat dapat tersebar ke
seluruh pelosok tanah air. Pada saat yang sama kecendrungan tingkat konsumsi
produk farmasi dan alat kesehatan terus meningkat.
Obat merupakan salah
satu komponen yang tak tergantikan dalam pelayanan kesehatan. Obat adalah bahan
atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi
termasuk produk biologi.
Akses terhadap obat terutama obat
esensial merupakan salah satu hak azasi manusia. Dengan demikian penyediaan
obat esensial merupakan kewajiban bagi pemerintah dan lembaga pelayanan
kesehatan baik publik maupun swasta.
Obat berbeda dengan komoditas
perdagangan lainnya, karena selain merupakan komoditas perdagangan, obat juga
memiliki fungsi sosial.
Kebijakan Pemerintah
terhadap peningkatan akses obat telah ditetapkan antara lain dalam
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah, Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) dan Kebijakan Obat Nasional.
Dalam subsistem Obat dan Perbekalan
Kesehatan dalam SKN, penekanan diberikan pada :
- Ketersediaan obat,
- Pemerataan termasuk keterjangkauan dan jaminan keamanan obat,
- Khasiat dan mutu obat.
Kebijakan Obat
Nasional selanjutnya adalah dokumen resmi berisi pernyataan komitmen semua
pihak yang menetapkan tujuan dan sasaran nasional di bidang obatbeserta
prioritas, strategi dan peran berbagai pihak dalam penerapan komponen-komponen
pokok kebijakan untuk pencapaian tujuan pembangunan kesehatan. Dengan demikian
Kebijakan Obat Nasional merupakan bagian integral dari SKN 2004.
Kebijakan Obat Nasional dapat menjadi
landasan, arah dan pedoman penyelenggaraan pembangunan kesehatan khususnya
dibidang obat yang meliputi pembiayaan, ketersediaan, pemerataan dan
keterjangkauan obat, seleksi obat esensial, penggunaan obat rasional,
pengawasan, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumber daya manusia dan
pemantauan serta evaluasi.
Beberapa negara berkembang telah
memanfaatkan obat tradisional dalam pelayanan kesehatan, terutama dalam
pelayanan kesehatan strata pertama. Penggunaan obat tradisional di Indonesia
merupakan bagian dari budaya bangsa dan banyak dimanfaatkan masyarakat. Namun
demikian, pada umumnya efektivitas dan keamanannya belum didukung oleh
penelitian yang memadai. Mengingat hal itu dan menyadari Indonesia sebagai mega
senter tanaman obat di dunia perlu disusun Kebijakan Nasional Obat Tradisional
terpisah dari Kebijakan Obat Nasional ini.
Penerapan otonomi
daerah pada tahun 2000 berdasarkan UU 22/1999, yang diperbaharui dengan UU
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengakibatkan beberapa peran pemerintah
pusat dialihkan kepada pemerintah daerah sebagai urusan wajib dan tugas
pembantuan, salah satunya adalah bidang pelayanan kesehatan. Hal ini
mengakibatkan penyediaan dan atau pengelolaan anggaran untuk pengadaan obat
esensial yang diperlukan masyarakat di sektor publik menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah yang sebelumnya merupakan tanggung jawab pemerintah pusat.
Namun pemerintah pusat masih mempunyai kewajiban untuk penyediaan obat program
kesehatan dan persediaan penyangga (buffer stock) serta menjamin keamanan,
khasiat dan mutu obat.
Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa
perubahan mendasar yang perlu dicermati agar ketersediaan obatesensial bagi
masyarakat tetap terjamin, khususnya di Kabupaten Sumenep.
TUJUAN
Kebijakan Obat Nasional dalam pengertian
luas dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat secara
berkelanjutan, agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya.
Keterjangkauan dan penggunaan obat yang
rasional merupakan bagian dari tujuan yang hendak dicapai. Pemilihan obat yang
tepat dengan mengutamakan penyediaan obat esensial dapat meningkatkan akses
serta kerasionalan penggunaan obat.
Semua obat yang beredar harus terjamin
keamanan, khasiat dan mutunya agar memberikan manfaat bagi kesehatan. Bersamaan
dengan itu masyarakat harus dilindungi dari salah penggunaan dan penyalahgunaan
obat.
Dengan demikian tujuan Kebijakan Obat
Nasional adalah menjamin :
- Ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial.
- Keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar serta melindungi masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat.
- Penggunaan obat yang rasional.
LANDASAN KEBIJAKAN
Untuk mencapai tujuan Kebijakan Obat
Nasional ditetapkan landasan kebijakan yang merupakan penjabaran dari prinsip
dasar SKN, yaitu :
- Obat harus diperlakukan sebagai komponen yang tidak tergantikan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Dalam kaitan ini aspek teknologi dan ekonomi harus diselaraskan dengan aspek sosial dan ekonomi.
- Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan obat esensial yang dibutuhkan masyarakat.
- Pemerintah dan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk menjamin agar pasien mendapat pengobatan yang rasional.
- Pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian obat, sedangkan pelaku usaha di bidang obat bertanggung jawab atas mutu obat sesuai dengan fungsi usahanya. Tugas pengawasan dan pengendalian yang menjadi tanggung jawab pemerintah dilakukan secara profesional, bertanggung jawab, independen dan transparan.
- Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi obat yang benar, lengkap dan tidak menyesatkan. Pemerintah memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan pengobatan.
STRATEGI
1. Ketersediaan, Pemerataan dan
Keterjangkauan Obat Esensial
Akses obat esensial
bagi masyarakat secara garis besar dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu
penggunaan obat yang rasional, harga yang terjangkau, pendanaan yang
berkelanjutan, dan sistem kesehatan serta sistem penyediaan obat yang dapat
diandalkan.
Berdasarkan pola pemikiran di atas
ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat esensial dicapai melalui
strategi berikut :
- Sistem pembiayaan obat berkelanjutan, baik sektor publik maupun sektor swasta mengacu pada UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijabarkan dalam berbagai bentuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
- Rasionalisasi harga obat dan pemanfaatan obat generik.
- Penerapan sistem pengadaan dalam jumlah besar (bulk purchasing) atau pengadaan bersama (pool procurement) disektor publik. Disertai distribusi obat yang efektif, efisien dan akuntabel pada sektor publik dan swasta.
- Pengembangan dan evaluasi terus-menerus, khususnya model dan bentuk pengelolaan obat sektor publik di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan dan daerah rawan bencana.
- Penyiapan peraturan yang tepat untuk menjamin ketersediaan danketerjangkauan obat.
- Penerapan standar proses dan standar komoditi obat secara ketat sebagai sarana pembatasan jenis dan jumlah obat yang beredar.
- Memanfaatkan skema dalam TRIPs seperti Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah.
2. Jaminan keamanan, khasiat dan mutu
obat beredar, serta perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan
penyalahgunaan obat .
Pengawasan dan
pengendalian obat mulai dari impor, produksi hingga ke tangan pasien, merupakan
kegiatan yang tidak terpisahkan.
Untuk mencapai maksud tersebut dilakukan
strategi sebagai berikut :
- Penilaian keamanan, khasiat dan mutu melalui proses pendaftaran, pembinaan, pengawasan dan pengendalian (binwasdal) impor, ekspor, produksi, distribusi dan pelayanan obat merupakan suatu kesatuan yang utuh, dilakukan dengan kompetensi tinggi, akuntabel secara transparan dan independen.
- Adanya dasar hukum dan penegakan hukum secara konsisten, dengan efek jera yang tinggi untuk setiap pelanggaran.
- Penyempurnaan ketentuan sarana produksi, sarana distribusi, dan sarana pelayanan obat.
- Pemberdayaan masyarakat melalui penyediaan dan penyebaran informasi terpercaya, sehingga terhindar dari penggunaan obat yang tidak memenuhi standar.
- Penyempurnaan dan pengembangan berbagai standar dan pedoman.
3. Penggunaan obat yang rasional
Pengembangan serta
penerapan pedoman terapi dan kepatuhan terhadap Daftar Obat Esensial
Nasional(DOEN), merupakan dasar dari pengembangan penggunaan obat yang
rasional.
Salah satu masalah yang mendasar atas
terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional adalah informasi yang tidak
benar, tidak lengkap dan menyesatkan. Oleh karena itu perludijamin agar
pengguna obat, baik pelayan kesehatan maupun masyarakat mendapatkan informasi
yang benar, lengkap dan tidak menyesatkan.Berdasarkan hal-hal tersebut diatas
upaya untuk penggunaan obat yang rasional dilakukan melalui strategi berikut :
- Penerapan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) dalam setiap upaya pelayanan kesehatan, baik perorangan maupun masyarakat, melalui pemanfaatan pedoman terapi dan formularium berbasis bukti ilmiah terbaik.
- Pengadaan obat di sarana kesehatan dan skema JKN mengacu pada DOEN.
- Penerapan pendekatan farmako ekonomi melalui analisis biaya-efektif dengan biaya-manfaat pada seleksi obat yang digunakan di semua tingkat pelayanan kesehatan.
- Penerapan pelayanan kefarmasian yang baik.
- Pemberdayaan masyarakat melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
POKOK-POKOK DAN LANGKAH-LANGKAH
KEBIJAKAN
A. PEMBIAYAAN OBAT
Sasaran :
Masyarakat, terutama masyarakatmiskin
dapat memperoleh obat esensial setiap saat diperlukan.
Hal utama yang
menjamin tersedianya obat esensial bagi masyarakat adalah terjaminnya
pembiayaan yang memadai secaraberkelanjutan. Penyediaan biaya yang memadai dari
pemerintah sangat menentukan ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial oleh
masyarakat.
Pelayanan kesehatan termasuk pelayanan
obat semakin tidak terjangkau bila sarana pelayanan kesehatan sektor publik
dijadikan sebagai sumber pendapatan daerah.
Salah satu upaya untuk menjamin
pembiayaan obat bagi masyarakat, adalah bila semua anggota masyarakat dicakup
olehSistem Jaminan Sosial Nasional.
Langkah Kebijakan :
- Penetapan target pembiayaan obat sektor publik secara nasional (WHO menganjurkan alokasi sebesar minimal US $ 2 per kapita).
- Pengembangan mekanisme pemantauan pembiayaan obatsektor publik di daerah.
- Penyediaan anggaran obat untuk program kesehatan nasional.
- Penyediaan anggaran Pemerintah dalam pengadaan obat buffer stock nasional untuk kepentingan penanggulangan bencana, dan memenuhi kekurangan obat di kabupaten/kota.
- Penyediaan anggaran obat yang cukup yang dialokasikan dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan dari sumber yang lain.
- Penerapan skema JKN ? dan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan lainnya harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna.
- Pembebanan retribusi yang mungkindikenakan kepada pasien di Puskesmas harus dikembalikan sepenuhnya untuk pelayanan kesehatan termasuk untuk penyediaan obat.
- Penerimaan bantuan obat dari donor untuk menghadapai keadaan darurat, sifatnya hanya sebagai pelengkap. Mekanisme penerimaan obat bantuan harus mengikuti kaidah internasional maupun ketentuan dalam negeri.
B. KETERSEDIAAN DAN PEMERATAAN OBAT
Sasaran :
Obat yang dibutuhkan untuk pelayanan
kesehatan, terutama obat esensial senantiasa tersedia.
Ketersediaan dan
pemerataan peredaran obat, terutama obat esensial secara nasional harus dijamin
oleh pemerintah.Kemandirian tidak mungkin dicapai dalam pasar yang mengglobal.
Pemerintah perlu memberi kemudahan pada
industri lokal yang layak teknis dan yang dapat menunjang perekomian nasional
melalui berbagai upaya dan dengan memanfaatkan peluang yang ada.
Sementara itu efisiensi dan efektivitas
sistem distribusi perlu ditingkatkan terus untuk menunjang ketersediaan,
keterjangkauan dan pemerataan obat yang berkelanjutan. Sarana dan prasarana
yang telah dikembangkan pada waktu yang lalu seperti Gudang Farmasi
Kabupaten/Kota perlu direvitalisasi guna menunjang ketersediaan, keterjangkauan
dan pemerataan obat.
Langkah Kebijakan :
- Pemberian insentif kepada industriobat jadi dan bahan baku dalam negeri tanpa menyimpang dari dan dengan memanfaatkan peluang yang ada dalam perjanjian WTO.
- Peningkatan ekspor obat untuk mencapai skala produksi yang lebih ekonomis untuk menunjang perkembangan ekonomi nasional. Pemerintah mengupayakan pengakuan internasional atas sertifikasi nasional, serta memfasilitasi proses sertifikasi internasional.
- Peningkatan kerjasama regional, baik sektor publik maupun sektor swasta, dalam rangka perdagangan obat internasional untuk pengembangan produksi dalam negeri.
- Pengembangan dan produksi fitofarmaka dari sumber daya alam Indonesia sesuai dengan kriteria khasiat dan keamanan obat.
- Peningkatan efektivitas dan efisiensi distribusi obatmelalui regulasi yang tepat untuk ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan peredaran obat.
- Peningkatan pelayanan kefarmasian melalui peningkatan profesionalisme tenaga farmasi sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku.
- Pemberian insentif untuk pelayanan obat di daerah terpencil.
- Pengembangan mekanisme pemantauan ketersediaan obat esensial dan langkah-langkah perbaikan.
- Ketersediaan obat sektor publik:
- Pembentukan Instalasi Farmasidi Propinsi dan Kabupaten/Kota pemekaran serta pemberdayaan Gudang Farmasi Kabupaten/Kota sebagai unit pengelola obatdengan memanfaatkan sistem informasi pengelolaan obat yang efektif dan efisien.
- Penerapan prinsip efisiensi dalam pengadaan obat, dengan berpedoman pada DOEN, serta menerapkan pengadaan bersama dan pengadaan dalam jumlah besardi kabupaten/kota.
- Penerapan pengelolaan obat yang baik di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota.
- Penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan obat sektor publik.
- Pemanfaatan peluang skema Lisensi Wajib dan Pelaksanaan Paten oleh Pemerintah untuk memenuhi keperluan obat disektor publik (pararel impor ?)
- 10. Penyediaan obat dalam keadaan darurat
- Pengorganisasian suplai obat dalam keadaan darurat harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
- Penyusunan pedoman pengadaan obatuntuk keadaan darurat yang ditinjau kembali secara berkala.
- Pengadaan obat untuk keadaan darurat mengikuti pedoman yang ada dan pemerintah mengambil langkah-langkah untuk menjamin ketepatan jumlah, jenis, mutu dan waktu penyerahan obat.
- 11. Penyediaan obat di daerah terpencil, perbatasan, dan rawan bencana serta orphan drugdiatur secara khusus oleh pemerintah.
C. KETERJANGKAUAN
Sasaran :
Harga obat terutama obat esensial
terjangkau oleh masyarakat.
Upaya untuk
keterjangkauan atau akses obat di upayakan dari dua arah, yaitu dari arah
permintaan pasar dan dari arah pemasok. Dari arah permintaan diupayakan melalui
penerapan Konsep Obat Esensial dan penggunaan obat generik. Penerapan Konsep
Obat Esensial dan penggunaan obat generik dilakukan melalui berbagai upaya,
antara lain promosi penggunaan obat generik di setiap tingkat pelayanan
kesehatan, pengaturan, pengelolaan obat di sektor publik.
Sementara itu penerapan skema Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) dapat meningkatkan keterjangkauan obat, terutama obat
esensial bagi masyarakat. Oleh karena itu penerapan JKN harus terus diupayakan
semaksimal mungkin.
Untuk mendapatkan harga yang lebih
terjangkau di sektor publik, di lakukan melalui pengadaan dalam jumlah besar
atau pengadaan bersama.
Dari segi pasokan ditempuh berbagai
upaya, antara lain dengan penyusunan kebijakan mengenai harga obat,
terutamaobat esensial dan pengembangan sistem informasi harga serta
menghindarkan adanya monopoli.
Oleh karena akses terhadap obat esensial
merupakan salah satu hak asasi manusia, maka obat esensial selayaknya
dibebaskan dari pajak dan bea masuk.
Langkah Kebijakan :
- Peningkatan penerapan Konsep Obat Esensial dan Program Obat Generik:
- Pemasyarakatan Konsep Obat Esensial dalam pelayanan kesehatan baik sektor publik maupun swasta.
- Penerapan DOEN di seluruh sarana pelayanan kesehatan.
- Pengintegrasian DOEN kedalam kurikulum pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan.
- Pemasyarakatan obat generik secara konsisten dan berkelanjutan.
- Pengendalian harga obat generik dengan memanfaatkan informasi harga obat internasional.
- Pemberian insentif kepada sarana dan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan obat esensial.
- Pelakksanaanevaluasi harga secaraperiodik dalam rangka mengambil langkah kebijakan mengenai harga obat esensial dengan :
- Membandingkan harga dengan harga di negara lain.
- Membandingkan harga di perkotaan maupun pedesaan, dan di sarana pelayanan kesehatan sektor publik dan swasta.
- Menilai dampak kebijakan yang telah dilaksanakan mengenai harga obat.
- Pemanfaatan pendekatan farmako-ekonomik di unit pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi.
- Melaksanakan lisensi wajib obat-obat yang sangat diperlukan sesuai dengan Undang-undang yang berlaku
- Pengembangan sistem informasi harga obat.
- Pengembangan sistem pengadaan obat sektor publik yang efektif dan efisien.
- Penghapusan pajak dan bea masuk untuk obat esensial.
- Pengaturan harga obat esensial untuk menjamin keterjangkauan harga obat
D. SELEKSI OBAT ESENSIAL
Sasaran :
Tersedianya Daftar Obat Esensial
Nasional (DOEN) sesuai perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan dalam
pelayanan kesehatan secara luas.
Obat esensial adalah
obat terpilih yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya
diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi yang diupayakan tersedia pada
unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya. Agar sistem
pelayanan kesehatan berfungsi dengan baik, obat esensial harus selalu tersedia
dalam jenis dan jumlah yang memadai, bentuk sediaan yang tepat, mutu terjamin,
informasi yang memadai, dan dengan harga yang terjangkau.
Proses dalam pemilihan obatesensial
merupakan hal yang sangat krusial. Daftar obat esensial yang ditentukan sepihak
tidak akan mencerminkan kebutuhan nyata dan tidak diterima oleh tenaga
kesehatan. Oleh karena itu proses pemilihan harus memperhatikan adanya
konsultasi, transparansi, kriteria pemilihan yang jelas, pemilihan yang terkait
dengan pedoman klinis berbasis bukti ilmiah terbaik, daftar dan pedoman klinis
yang berbeda untuk setiap tingkat pelayanan yang diperbaharui secara berkala.
Langkah Kebijakan :
- Pemilihan obat esensial harus terkait dengan pedoman terapi atau standar pengobatan yang didasarkan pada bukti ilmiah terbaik.
- Pelaksanaan seleksi obat esensial dilakukan melalui penelaahan ilmiah yang mendalam dan pengambilan keputusan yang transparan dengan melibatkan apoteker, farmakolog, klinisi dan ahli kesehatan masyarakat dari berbagai strata sarana pelayanan kesehatan dan lembaga pendidikan tenaga kesehatan.
- Pelaksanaan revisi DOENdilakukan secara periodik paling tidak setiap 3-4 tahun dengan melalui proses pengambilan keputusan yang sama.
- Penyebarluasan DOENkepada sarana pelayanan kesehatan sampai daerah terpencil, lembaga pendidikan tenaga kesehatan, baik dalam bentuk media cetak maupun elektronik.
E. PENGGUNAAN OBAT YANG RASIONAL
Sasaran :
Penggunaan obat dalam jenis, bentuk
sediaan, dosis dan jumlah yang tepat dan disertai informasi yang benar, lengkap
dan tidak menyesatkan.
Penggunaan obat yang rasional merupakan
salah satu langkah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Pada
umumnya penggunaan obat di sarana pelayanan kesehatan belum rasional.
Untuk mengatasi permasalahan penggunaan
obat yang tidak rasional perlu dilakukan pemantauan penggunaan obat agar dapat
diketahui tipe ketidak-rasionalan, besarnya permasalahan, penyebab penggunaan
obat yang tidak rasional, agar dapat dipilih strategi yang tepat, efektif, dan
layak untuk dilaksanakan.
Upaya penggunaan obat secararasional
harus dilaksanakan secara sistematis di semua tingkat pelayanan kesehatan
dengan menggunakan strategi yang telah terbukti berhasil.
Langkah Kebijakan :
- Penyusunan pedoman terapi standarberdasarkan bukti ilmiah terbaik yang di revisi secara berkala.
- Pemilihan obat dengan acuan utama DOEN.
- Pembentukan dan atau Pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi di rumah sakit.
- Pembelajaran farmakoterapi berbasis klinis dalam kurikulum S1tenaga kesehatan.
- Pendidikan berkelanjutan sebagai persyaratan pemberian izin menjalankan kegiatan profesi.
- Pengawasan, audit dan umpan balik dalam penggunaan obat.
- Penyediaan informasi obat yangbenar, lengkap dan tidak menyesatkan melalui pusat-pusat informasi di sarana-sarana pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta.
- Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat untuk menggunakan obat secara tepat dan benar, serta meningkatkan kepatuhan penggunaan obat.
- Regulasi dan penerapannya untuk menghindarkan insentif pada penggunaan dan penulisan resep obat .
- Regulasi untuk menunjang penerapan berbagai langkah kebijakan penggunaan obat yang rasional.
- Promosi penggunaan obat yang rasional dalam bentuk komunikasi, informasi dan edukasi yang efektif dan terus menerus kepada tenaga kesehatan dan masyarakat melalui berbagai media.
F. PENGAWASAN OBAT
Sasaran :
1. Obat yang beredar harus memenuhi
syarat keamanan, khasiat, dan mutu.
2. Masyarakat terhindar dari penggunaan
yang salah dan penyalahgunaan obat.
Pengawasan obat merupakan tugas yang
kompleks yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan yaitu pemerintah,
pengusaha dan masyarakat. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhioleh
lembaga pemerintah untuk melakukan pengawasan, antara lain adanya dasar hukum,
sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang memadai, akses terhadap ahli,
hubungan internasional, laboratorium pemeriksaan mutu yang terakreditasi,
independen, dan transparan.
Sasaran pengawasan mencakup aspek
keamanan, khasiat, dan mutu serta keabsahan obat dalam rangka melindungi
masyarakat terhadap penyalahgunaan dan salah penggunaan obat sebagai akibatdari
kurangnya pengetahuan, informasi dan edukasi masyarakat yang harus ditangani
secara lintas sektor dan lintas program.
Langkah Kebijakan :
- Penilaian dan pendaftaran obat
- Penyusunan dan penerapan standar produk dan sistim mutu
- Perizinan dan sertifikasi sarana produksi dan distribusi
- Inspeksi sarana produksi dan sarana distribusi
- Pengujian mutu dengan laboratorium yang terakreditasi.
- Pemantauan promosi obat
- Surveilans dan vijilan paska pemasaran
- Penilaian kembali terhadap obat yang beredar.
- Peningkatan sarana dan prasarana pengawasan obat serta pengembangan tenaga dalam jumlah dan mutu sesuai dengan standar kompetensi.
- Pembentukan Pusat Informasi Obat di pusat dan daerah untuk intensifikasi penyebaran informasi obat.
- Peningkatan kerjasama regional maupun internasional
- Pengawasan obat palsu dan obat seludupan (tidak absah).
- Pengembangan peran serta masyarakat untuk melindungi dirinya sendiri dari obat yang tidak memenuhi syarat, obat palsu, dan obat ilegal melalui upaya komunikasi, informasi, dan edukasi.
G. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Sasaran :
Peningkatan penelitian dibidang obat
untuk menunjang penerapan Kebijakan Obat Nasional.
Penelitian dan pengembangan obat
bertujuan untukmenunjang pembangunan dibidang obat yang mencakup kajian
terhadap pembiayaan, ketersediaan dan pemerataan, keterjangkauan, seleksi obat
esensial, penggunaan obat rasional, pengawasan, penelitian dan pengembangan,
pengembangan sumber daya manusia dan pemantauan serta evaluasi.
Langkah Kebijakan :
- Melakukan identifikasi penelitian yang relevan dan penyusunan prioritas dengan mekanisme kerja yang erat antara penyelenggara upaya-upaya pembangunan di bidang obat dengan penyelenggara penelitian dan pengembangan.
- Meningkatkan kerjasama lintas sektor dan dengan luarnegeri di bidang penelitian dan pengembangan obat serta meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi penyelenggaraan penelitian antara berbagai lembaga dan perorangan yang melakukan penelitian di bidang obat.
- Membina dan membantu penyelenggaraan penelitian yang relevan dan diperlukan dalam pembangunan di bidang obat.
H. PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
Sasaran :
Tersedianya Sumber Daya Manusia(SDM)
yang menunjang pencapaian tujuan Kebijakan Obat Nasional.
SDM yang diperlukan untuk berbagai
lembaga di atas harus memadai dari segi jumlah, kompetensi maupun pemerataan.
Untuk itu perlu dilakukan upaya peningkatan dan pengembangan SDM kesehatan
secara sistematis, berkelanjutan disesuaikan dengan perkembangan Iptek.
GFK yang sebelumnya telah ada di setiap
Kabupaten/Kota dikembangkan menjadi Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK),
dilengkapi dengan sistem informasi yang dapat diandalkan. Untuk itu dibutuhkan
SDM dengan jumlah yang cukup dan kompeten.
Tersedianya SDM farmasi di puskesmas, rumah
sakit baik pemerintah maupun swasta, industri farmasi, pedagang besar farmasi
(PBF), apotek serta toko obat sangat diperlukan. Disamping itu diperlukan
apoteker sebagai administrator di kabupaten/kota, propinsi dan pusat.
Langkah Kebijakan :
- Penyusunan rencana kebutuhan tenaga farmasi.
- Penyediaan dan penempatan tenaga farmasi secara merata sesuai dengan kebutuhan di setiap daerah dan jenjang pelayanan kesehatan.
- Pengintegrasian Kebijakan Obat Nasional kedalamkurikulum pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan.
- Pengintegrasian Kebijakan Obat Nasional ke dalam kurikulum pendidikan berkelanjutan oleh organisasi profesi kesehatan.
- Peningkatan kerjasama nasional, regional dan internasional untuk pengembangan SDM.
I. PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Sasaran :
Menunjang penerapan Kebijakan Obat
Nasional melalui pembentukan mekanisme pemantauan dan evaluasi kinerja serta
dampak kebijakan, guna mengetahui hambatan dan penetapan strategi yang efektif.
Penerapan Kebijakan Obat Nasional
memerlukan pemantauan dan evaluasi secara berkala.
Hal ini penting untuk melakukan
antisipasi atau koreksi terhadap perubahan lingkungan dan perkembangan yang
begitu kompleks dan cepat yang terjadi di masyarakat. Kegiatan pemantauan dan
evaluasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari kegiatan pengembangan
kebijakan. Dari pemantauan kebijakan akan dapat dilakukan koreksi yang
dibutuhkan.
Sedangkan evaluasi kebijakan dimaksudkan
untuk mendapatkan informasi tentang penyelenggaraan, melaporkan luaran
(output), mengukur dampak (outcome), mengevaluasi pengaruh (impact) pada
kelompok sasaran, memberikan rekomendasi dan penyempurnaan kebijakan.
Langkah Kebijakan :
- Pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berkala, paling lama setiap 5 tahun.
- Pelaksanaan dan indikator pemantauan mengikuti pedoman WHO dan dapat bekerjasama dengan WHO atau pihak lain untuk membandingkan hasilnya dengan negara lain.
- Pemanfaatan hasil pemantauan dan evaluasi untuk :
- Tindak lanjut berupa penyesuaian kebijakan, baik penyesuaian pilihan kebijakan maupun penetapan prioritas.
- Negosiasi dengan instansi terkait.
- Bahan pembahasan dengan berbagai badan internasional maupun donor luar negeri.
Komentar
Posting Komentar